Gua Maria Bunda Pemersatu, Paroki Jumapolo

Gua Maria Bunda Pemersatu, Paroki Jumapolo
Gua Maria Bunda Pemersatu, Paroki Jumapolo

Filosofi Gamelan

Neng….nung…..ning…..gung!
Neng, nung ning gung bukan sekedar bunyi bunyian yang keluar dari seperangkat  alat musik  yang  di tabuh, melainkan suatu harmoni yang timbul dari keberagaman alat yang bermacam macam, dan jika alat tersebut  dimainkan satu persatu  tidak menjadi seindah kalau dimainkan   bersama. Itulah  yang disebut  gamelan. Dan jika di otak atik secara filosofi bunyi bunyi tersebut mengandung arti yang mendalam
1.       Neng ….; Artinya  meneng ( diam) menghentikan segala  kegiatan fisik
2.       Nung…..;  merenung, introspeksi diri
3.       Ning……;  hening, pasrah  terhadap tuhan
4.       Gung…..; menuju keagungan  yang tak lain adalah Allah
Mungkin masih banyak filosofi yang baik yang dapat kita ambil. Tergantung dari pribadi orang yang menyikapi dan memandangnya.

Gereja  dan Gamelan…………….???
Gereja/ Paroki hakekatnya seperti seperangkat gamelan, coba bayangkan jika dalam satu perangkat gamelan itu satu atau dua alat saja yang mendominasi, apakah menjadi gending (lagu) yang indah? Tentu  tidak….! Maka diperluakan suatu kekompakan  dan kebersamaan  dalam memainkan gamelan  sehingga terjadi harmoni yang membangun sebuah Lagu (gending). Paroki Jumapolo yang nota bene wong jowo tulen sebenarnya dapat mengambil filosofi gamelan tersebut menjadi dasar dalam membangun  paguyuban umat beriman. Ekaristi  yang menjadi pusat dari  kehidupan iman telah tergambar  jelas dalam   Neng, nung, ning, gung. Ekaristi bukanlah milik pastor saja, melainkan milik bersama yang harus dihidupi bersama pula oleh segenap umat.
Oleh sebab itulah, wilayah St. Theresia Tengklik berencana membeli seperangkat gamelan. Selain, untuk mengangkat nilai kebudayaan masyarakat, tetapi supaya umat juga meresapi filosofi dari gamelan itu sendiri. Tentu nantinya gamelan tersebut tidak hanya milik dewan pengurus saja, namun milik seluruh umat. Dengan harapan gamelan tersebut dapat  menjadi warisan bagi anak-cucu kita ke depan, baik warisan secara fisik maupun warisan filosofi yang dapat tetap di pegang dan menjadi dasar untuk generasi-generasi selanjutnya.
Namun sayangnya, niat yang baik ini tidak didukung sepenuhnya oleh segenang umat. Banyak di antara umat yang masih “eman” memberikan sedikit penghasilannya untuk mendukung tercapainya niat baik ini. Menjadi suatu keprihatinan sendiri dalam kecenderungan yang ada di dalam masyarakat, jika orang tak segan mengeluarkan uang mereka untuk “jagong”, maka untuk paguyuban gereja orang akan merasa berat. Padahal itu tidak untuk kita sendiri melainkan untuk memperkokoh Gereja kita dan juga dapat sebagai warisan untuk genarasi selanjutnya.
Sebagaimana gamelan, hendaknya umat bersama-sama dan kompak untuk membangun Gereja dengan harmonis,seperti gending indah yang dihasilkan gamelan. Tidak didominasi oleh satu atau dua orang saja, melainkan seluruh umat harus ikut ambil bagian dalam paguyuban orang beriman ini. Semoga dengan gamelan tersebut umat dapat saling berinteraksi lewat budaya serta menjadikan Gereja kita lebih kokoh dan mandiri.